Friday, September 7, 2012

Kesiapan, Cinta dan Ketulusan

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah kolam renang. Aku kebetulan mengantarkan si kecil Naila untuk mulai ikut les renang. Saat kami berdua mengamati keceriaan anak-anak kami bermain di kolam tiba-tiba sang teman menyeletuk, “La yaitu mbak, anakku sudah 5 tahun belum juga bisa membaca, gimana ya mbak?”. Langsung aku teringat juga kata-kata yang pernah ditujukan padaku baru-baru ini, “Anakmu kok  ngomongnya ra jelas ngono to di, akeh sih ngomong-e tapi kadang angel dimengerti….ngawe bahasa opo to bocah kuwi. Padahal si A, B, C wis cetho (bisa dimengerti) ngomong-e”. Dua kejadian tadi membuatku berpikir “Apakah kita sebagai orang tua berhak atau memang punya kewajiban untuk menentukan waktu atau kapan anak-anak kita harusnya sudah menguasai sebuah ketrampilan. Contohnya ketrampilan membaca ataupun ketrampilan berbicara seperti yang terjadi di atas?”.  Sebuah artikel yang baru-baru ini saya baca dari tumpukan file-file lama saya yaitu “Buletin Seri Ayahbunda - 3 Tahun Pertama Yang Menentukan” mungkin bisa jadi penentram hati sehingga paling tidak saya pribadi tidak perlu merasa berkecil hati dan tetap semangat untuk terus belajar dalam mendidik buah hati kami. (Note : tanpa bermaksud mengurangi makna isinya, maka artikel dibawah ini sudah saya ubah dikit dan  tambahkan kata-katanya dengan tujuan agar saya pribadi bisa lebih paham maksudnya saat membacanya)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kesiapan, Cinta dan Ketulusan

Sadar atau tidak, kebiasaan kita membandingkan satu anak dengan anak yang lain dalam satu keluarga ataupun dengan anak orang lain,  kerap kali kita sebagai orang tua lakukan. Dan biasanya diam-diam si orang tua akan merasa senang ketika anaknya berhasil menguasai suatu kemampuan lebih cepat dari anak-anak sebayanya. Sementara, jika anaknya terlambat menguasai suatu kemampuan dbandingkan dengan anak-anak sebayanya maka orang tua bukan main khawatirnya.

Standard Perkembangan Umum yang bisanya menjadi tolak ukur “kenormalan” perkembangan anak-anak  biasanya malah sering menjadikan para orang tua menilai kemajuan anak-anaknya dengan menyamaratakan kemampuan setiap anak. Padahal standard acuan tersebut tidak bisa selalu dijadikan harga mati. Dimana bila seorang anak pada usia tertentu belum bisa mencapai kemampuan ketrampilan tertentu maka dia dianggap anak yang lamban. Mungkin saja, seorang anak berkembang lebih lambat atau lebih cepat kalau mengacu pada standard tersebut. Tetapi apakah kita perlu berkecil hati  bila buah hati kita agak lambat dibandingkan anak lain (itupun menurut standard umum tadi). Karena sebenarnya pada akhirnya, semua anak yang sehat akan menguasai kemampuan-kemampuan dasar tanpa perlu dipaksa. Karena ketika si kecil siap, ia akan mulai belajar.

Kesiapan, nyatanya adalah kunci dalam mempelajari sesuatu. Banyak riset menunjukkan hal ini. Bila anak belum siap, tetapi anda memaksanya untuk belajar sesuatu maka biasanya hasilnya tidak akan terlalu positif. Mungkin saja si anak akan melesat terlalu dini tetapi biasanya akan layu terlalu dini juga.  Tentu, bukan berarti kita kemudian berhenti untuk mendorongnya, memberi stimulasi, agar si kecil mau belajar dan menguasai kemampuan tertentu. Namun untuk mendorong dan menyemangati anak, orang tua mesti mengenali si anak. Dan untuk itu, anda perlu memiliki kepekaan. Kepekaan tentang kondisi si anak, seperti apakah si kecil sedang dalam masa-masa yang sulit? Apakah kebutuhannya, fisik maupun emosi sudah terpenuhi? Apakah anak dapat mengungkapkan keinginannya dengan mudah dan dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya?

Mengenali kondisi anak, menyodorkan cinta yang mendukung dan menerima dengan tulus keadaan anak anda, apa adanya, adalah hal yang paling ideal. Dengan hal-hal ini ia niscaya akan tumbuh menjadi seorang yang mandiri dan penuh percaya diri. Anak yang merasa aman, karena tahu orang tuanya mencintainya apa adanya, akan berani berusaha dan menanggung resiko dari apapun yan dilakukannya. Tugas kita  adalah memberi kesempatan si anak untuk siap dengan tidak memaksanya menjadi pribadi lain, menerima kemampuan dia, dan mendorong dan mendukung dia dengan cara-cara yang bijak.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat paling tidak untuk menyemangati diriku dalam menikmati fase-fase pembelajaran putri-putriku. Bahkan aku jadi teringat sebuah kata-kata bijak dari film kartun Mulan saat sang ayah mencoba menghibur anak gadisnya yang merasa sedih karena merasa tidak mampu meninggikan kehormatan keluarga. Saat mereka berdua duduk di bawah pohon sakura sepulang Mulan gagal mengemban misi keluarga untuk menjadi pengantin perempuan

“Astaga, tahun ini indah sekali bunga-bunga yang merekah”.
“Tapi lihat yang ini terlambat”
(sambil tangan sang ayah menunjuk satu kuncup sakura yang belum juga merekah diantara bunga-bunga sakura lain yang telah merekah indah).
Tapi Ayah yakin jika ia mengembang, ia akan menjadi bunga yang terindah”
  

No comments: