Sunday, December 1, 2013

Mendidik Dari Mula


Sepulang sekolah, sambil sibuk membongkar isi tas sekolahnya, seperti biasa Nadia [udah jadi siswa SMP] mulai asyik berceloteh tentang hal-hal yang dialaminya sepanjang hari di sekolah.  Dan biasanya  aku menemani dan mendengarkan celotehannya sambil menyiapkan makanan siang, sekedar membuka-buka artikel di laptopku ataupun membolak-balik buku-buku untuk mencari materi yang menurutku akan asyik kalau dipakai untuk diskusi malam kami . “Masak ma, aku lihat ada kakak kelas cewek-cowok yang pegang-pegangan tangan di mushola. Padahal yang cewek pakai jilbab lo ma. Kok bisa ya?” dengan gaya polosnya dia lanjut bertanya. “Cowok-cewek itu khan nggak boleh dekat-dekatan, iya khan ma?” lanjutnya lagi.

Sambil menyimak. aku berkata dalam hati, “Ini dia, masa itu sudah tiba". Yah waktu telah berlalu dan anakku sudah mulai menginjak usia remaja. Aku sudah meyakini akan ada masa ketika aku harus menjelaskan tentang hal-hal begini. Dan Sejak kami menikah, aku dan suami juga sudah bersepakat mencari ilmu terus menerus untuk mencegah upaya-upaya tanpa sengaja kami  mematikan curiosity dalam keluarga kami terutama anak-anak kami. Dan saat ini, aku hanya berharap dalam hati semoga aku bisa menyelesaikan tantangan kali ini. 

Maka mulailah aku bertanya pendapat Nadia mengenai kejadian tersebut. “Menurut kakak sendiri gimana sikap itu?”, tanyaku. Dengan tegas dia menjawab “Ya ndak boleh ma., wong berdua-duaan aja dilarang. Apalagi pakai pegang-pegangan tangan…..Iiiiiih.”. Mukanya jadi ikut mengeryit. Uh tanpa bisa ditutupi aku bernafas lega. Alhamdulillah dia sudah bisa mengambil sikap. “Memang kenapa kalau mereka nggak boleh dekat-dekatan?” tanyaku jadi ingin tahu. “Khan mereka bukan muhrim”.  Sekali lagi kutarik nafas lega. Alhamdulillah dia sudah mulai memahami.

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya”
(HR Bukhari & Muslim)

“Sungguh tidaklah seorang laki-laki bersepi (berduan) dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga dari keduanya adalah syaitan”
(HR at-Tarmidzi)

Celotehan Nadia tadi membawaku teringat salah satu kalimat salah seorang motivator. “Mendidik seorang anak seyogyanya bukan baru dilakukan ketika seorang anak dilahirkan, tidak juga ketika seorang anak masih berada dalam kandungan. Namun seyogyanya dimulai saat seorang lelaki/wanita memilih calon suami/istrinya. Maka pilihlah calon ibu atau ayah yang baik bagi anak-anak kita ”  Yang memang menjadi salah satu hak anak yang harus kita penuhi.

Jadi terkenang masa-masa sebelum aku memilih Mas suami sebagai suami dan calon ayah bagi anak-anakku. Saat itu tentu saja pengetahuan agamaku masih minim sekali dan sampai saat ini pun masih jauh dari mencukupi. 

Kami bertemu saat kami berdua bekerja di sebuah perusahaan pertambangan asing jauh di pelosok Kalimantan Timur. Aku adalah murid beliau di Human Resource Center tempat beliau bekerja sebagai trainner bagi para karyawan perusahaan. Dari sekedar pertemanan di kantor dan sesekali bertemu di area Senior Camp - tempat tinggal kami, seperti di Mess Hall – tempat kami makan dan Recreation Hall, area rekreasi karyawan, para. akhirnya suatu hari beliau mengirimkan sepucuk surat elektronik - email kepadaku untuk mengajak  berbicara serius. Dan yang membuat-ku terkesan sekali adalah pertanyaan pertama beliau kepadaku apakah aku sudah di Khitbah oleh seseorang atau sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Tentu saja kujawan “tidak, dan tidak pernah”. Dan memang, InsyaAllah sepanjang ingatanku, semasa remaja hingga dewasa aku belum pernah berkeinginan untuk menjalin hubungan seperti pacaran dengan seorang lelaki-pun.  Sejak remaja aku hanya memfokuskan diriku untuk belajar, mencapai prestasi tertinggi yang aku mampu lakukan, lalu kemudian bekerja untuk membuat kedua orang tuaku bahagia. Urusan berjodoh semua kuserahkan kepada yang di atas. Sampai-sampai bapakku saja bingung karena kelihatannya aku punya banyak teman lelaki, dari aktivitas organisasi yang kuikuti, yang berkunjung ke rumah tetapi kok sepertinya tidak ada yang special bagiku….hehehe. Namun alhamdulillah kedua orang tuaku tidak pernah sedikitpun memaksaku untuk segera mencari jodoh. 

Dan ternyata Mas suami-pun demikian, Insyaallah beliau belum pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita-pun. Bahkan sedemikian cueknya dia pada hal-hal seperti itu sampai-sampai iparnya mengatakan kalau beliau itu setengah sufi deh…..walah ada-ada saja.

Dan akhirnya Mas suami-pun mengutarakan niatnya untuk meminang diriku. Saat itu aku tentu saja belum bisa menjawab langsung. Karena begitu jauhnya lokasi bekerjaku yang di Kalimantan dengan tempat tinggal kedua orang tuaku maka aku mencari bantuan teman-teman terdekatku untuk mencari informasi mengenai siapa dan bagaimana sebenarnya lelaki yang meminangku ini. Alhamdulillah informasi positif diberikan oleh teman-teman yang juga mengenal beliau dan mereka mendukung seadainya kami  bersatu. 

Maka demi untuk menjajagi keseriusan beliau, aku mengajukan 3 syarat. Yang pertama, beliau harus segera pergi ke Surabaya untuk meminta-ku kepada ayah-ku. Yang kedua hari pernikahan harus diselenggarakan as soon as possible dan tidak perlu bermewah-mewah. Yang ketiga, selama menunggu proses menuju pernikahan aku tidak ingin kita kelihatan runtang-runtung berdua seperti orang pacaran. Cukup hanya kita, sanak saudara dan teman-teman terdekat kita saja yang tahu proses ini. Dan alhamdulillah semua dengan gentlemen beliau penuhi. Beliau datang ke rumah Surabaya sendirian untuk meminta kepada bapak. Lucunya karena lugunya dia datang-pun hanya bersandal jepit. Jadi kebayang dengan tubuh kurus, wajah lugu seperti anak SMA dan bersandal jepit, bagaimana dia bisa meyakinkan bapakku untuk menerima pinangannya. Dan aku menginformasikan kedatangan beliau ke bapak hanya lewat telepon. Lalu Selama proses menuju pernikahan-pun kami lebih sering berkomunikasi lewat e-mail maupun telepon. Dan hanya seminggu sekali beliau datang untuk mengkonfirmasikan beberapa hal ke barak-ku. Yang jarak sebenarnya  cuma terpisah satu barak saja dari baraknya. Dan itupun hanya kutemui di ruang tamu dan tidak boleh masuk kamarku (seperti kebiasaan karyawan di sana yang mengijinkan teman-teman lelakinya masuk ke dalam kamar mereka) .Sampai teman-temanku dan teman-teman beliau  pada terkejut ketika kami menyerahkan undangan pernikahan yang baru kami berikan 1 hari menjelang keberangkat kami pulang ke rumah kami masing-masing untuk persiapan pernikahan di tanggal 1 April…..hihihi. Sampai-sampai mungkin mereka mengira aku lagi keranjingan bikin “April Mop” seperti budaya barat.

Kamipun mencoba membuat pernikahan kami sesederhana mungkin dengan memilih untuk membuat undangan pernikahan kami seminimalis mungkin namun tidak kehilangan unsur keindahan dan berharap bisa didaur ulang menjadi sebuah pembatas buku, dan bukan hanya jadi selembar kertas yang nantinya dibuang percuma setelah membacanya. Aku ingat sekali, di dalam undangan itu tertulis Doa Nabi Muhammad SAW pada pernikahan putrinya Fatimah Az Zahra dengan Ali Bin Abi Thalib. Yang menjadi harapan kami juga dalam pernikahan kami

“Semoga Allah Menghimpun Yang Terserak dari keduanya, memberkati mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas hidup mereka. Menjadikan pembuka pintu rahmat, sumber ilmu dan hikmah serta pemberi rasa aman bagi umat”

Lalu dibaliknya ada sebuah quote yang mencerminkan kecintaan kami pada buku yang ingin kami wariskan kepada anak cucu kami kelak, sebagaimana bapakku telah mewariskan kecintaan itu kepadaku.

“Buku adalah teman bicara yang tidak mendahului ketika kamu sibuk, tidak memanggilmu ketika kamu tengah bekerja, tidak memaksamu agar kamu berdandan untuknya. Dia teman duduk yang tidak menganggumu, sahabat yang tidak membujukmu, kawan yang tidak membosankanmu dan penasehat yang tidak mencari-cari kesalahanmu.’

(Ahmad Bin Ismail)

            Acara pernikahan kamipun digelar sesegara kemampuan kami untuk menyelenggarakan serta tanpa mengikuti tetek bengek adat istiadat  yang biasanya ada pada pernikahan Jawa yang tidak ada tuntunanya dalam Islam. Skip semua deh pokoknya…..hehehe. Dan alhamdulillah kedua orang tua kami setuju. Walaupun kami harus juga bertenggang rasa kepada keinginan orang tua untuk membuat acara yang sedikit besar dengan mengundang banyak tamu karena sanak saudara dan teman-teman kedua orang tua kami yang banyak.

Barakallahu laka wabaaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fii khoirin

“Semoga Allah senantiasa memberkahi anda dalam suka dan duka dan menghimpun anda berdua dalam kebaikan
(HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Doa-doa para tamu menjadi penguat diri kami untuk menjalani lembaran baru kehidupan kami. Memang tidak sesempurna kisah pernikahan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta alim ulama. Namun paling tidak kami mencoba untuk meneladani sedikit apa yang telah dilakukan beliau dengan mencoba sedari muda menjaga pergaulan kami. Sehingga kami mengharapkan dapat mengemban amanah dalam mendidik buah hati kami.

Kini masa telah berganti. Kami yang dulunya adalah seorang anak saja kini harus mengemban juga amanah untuk menjadi orang tua bagi buah hati kami. Maka upaya kami dulu untuk menjaga diri kami dan berusaha untuk terus menerus menjadi hamba Allah yang baik, kini bertambah dengan amanah untuk membantu anak-anak kami untuk menjadi pribadi-pribadi yang kuat dalam membela agama Allah SWT hingga mereka dapat melahirkan generasi yang lebih baik lagi.  
             
        Kami-pun mencoba beberapa upaya yang terus menerus kami lakukan. Yang pertama tentu saja dengan terus menerus mendoakan anak-anak kami  

“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S Al Furqon :74)

Yang kedua adalah kami tetap berusaha secara terus menerus untuk memberikan teladan yang baik sesuai dengan ajaran agama walaupun masih dalam batas pemahaman keislaman kami yang masih terus menerus kami coba tingkatkan. Bukankah teladan adalah sebaik-baiknya cara untuk mendidik seorang anak.

Yang ketiga adalah mengajak mereka untuk lebih mendekatkan diri dan memahami agama mereka dengan mendekatkan mereka kepada Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber pedoman kehidupan mereka nantinya. 

Yang keempat kami selalu berupaya menyempatkan diri untuk mengajak dia berdialog mengenai konsep-konsep Islam baik dalam pergaulan antara lelaki dan perempuan, apalagi yang berhubungan dengan kasus-kasus yang dia alami dalam kehidupan sehari-hari. Maupun dalam hal-hal lain seputar kehidupan sebagai seorang muslim. Sehingga kami mengharapkan dia bisa memiliki pikiran yang terbuka mengenai agama yang dia yakini dari kecil ini. Di dalamnya pun, kami mulai sedikit demi sedikit juga membekali dia dengan pengetahuan seputar perkawinan yang di dalamnya ada tanggung jawab, ibadah dan kemulian dalam mengemban misi pembentukan generasi Islam sebagai sebuah amanah dari Allah SWT.

Dalam hening malam lirih kuucap dalam dialogku kepada-Mu ya Allah

“Ya Allah, mohon ampunilah kami atas banyaknya kezhaliman yang telah kami lakukan terhadap diri kami dan anak-anak kami yang disebabkan oleh kejahiliaan dan kelalalian kami. Dan jadikanlah kami termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa memelihara amanah yang dipikulnya sehingga kami termasuk dalam golongan orang-orang yang berhak mewarisi surga Firdaus-mu dan akan kekal di dalamnya. Amien” 

Salatiga, 1 December 2013
Tulisan yang belum menembus salah satu "x"