Buat Pak Fadillah Putra....saya cuplik artikel anda untuk menjadi penginggat. Terima Kasih....dan untuk Wawan di Payneham....thanks Wan untuk mencuplikan artikel ini buat kita-kita.
Kisah Tentang Nasi Jagung, Samgyeobsal dan semangkuk Leberknödelsuppe
by Fadillah Putra
Hari-hari menjelang berakhirnya musim semi tahun ini adalah hari-hari menjelang berakhirnya dua tahun persingghanku di negeri ini. Rasanya ini saat yang tepat untuk menyandarkan hati dan pikiran agar dapat melihat “hidup” dengan lebih jernih. Hidup yang bukan sebatas deadline mengumpulkan tugas-tugas kuliah; rentetan strategi mengejar ambisi-ambisi; menyandarkan diri pada uang sebagai satu-satunya sumber ketentraman; sibuk berdamai dengan kepengecutan. Bukan hidup yang dipenuhi dengan kata-kata “AKU” dalam setiap halaman takdirnya. Atau pula hidup tentang seberapa banyak yang telah kudapatkan. Tapi hidup tentang apa yang telah kuberikan, terlebih kepada ibu. Ibu dari 260 juta manusia yang bernama Indonesia.
Jauh sebelum kakiku menginjak bandara Portland Oregon, setelah belasan tahun berkubang kerasnya realitas di tanah air, aku, dulu, merasa begitu benci dengan Indonesia. Setiap sudut di mana mata tertumbuk, selalu berakhir dengan bercecarnya sumpah serapah dari mulutku. Melihat kekanan: orang-orang berseragam coklat keluar masuk mall di jam kerja. Melihat kekiri supir angkot ugal-ugalan di jalan, lihat kedepan para pengusaha-pengusaha besar bawa lari duit ke Singapura dan Hongkong, lihat kebelakang hutan dibabat, emas dan minyak dirampok oleh Exxon dan Freeport. Di samping: orang-orang pintar milik negeri tak mau pulang membangun bangsanya. Di bawah: tampak seorang anak tertidur pulas di tepi pasar saat lalat-lalat mengerubungi tepian mulutnya.
Melihat ke atas: tak ada apa-apa selain sebuah harapan tentang keberadaan Tuhan yang gusar melihat ketidakadilan yang sudah berjalan lebih dari 400 tahun di atas jamrud katulistiwa yang tak lagi hijau ini.
Hidup bergerak dari satu ruang keruang yang lain berkendarakan waktu. Tak terbayang tujuh tahun lalu, saat setiap malam aku menggelar sarung dan bersiap tidur di atas meja sekolah di Kedaton, Lampung, bahwa pagi ini aku terbangun di kasur empuk di sebuah apartemen. Jauh dari impian lima tahun lalu saat sarapan nasi jagung di sudut jalan Wonokromo Surabaya bahwa tahun kemarin aku menyantap semangkuk leberknödelsuppe di Andalo Italy. Tak terbesit secuilpun dalam benak saat terik matahari membakar tubuhku yang sedang menyusuri pematang ladang di Lamongan Jawa Timur bahwa pada sebuah masa tubuh ini rebah di atas rerumputan lembut di tepian Central Park Manhattan.
Tetapi apa arti itu semua? Apakah pikiranku telah melangkah sejauh tubuh ini berpindah? Apakan hanya ada guratan ekspresi yang sama di setiap foto yang berlatar puluhan negeri? Atau, apakah memang sudah seharusnya tak ada yang berubah?
Aku teringat sebuah pidato yang disampaikan dengan sangat lugas dari seorang berhati lembut bernama Joan Dassin. Dia berkata bahwa pada umumnya anak-anak yang berkesempatan kuliah di luar negeri (terutama dari negara-negara berkembang) setelah selesai study mereka akan menganggap orang-orang di negaranya menjadi semakin terlihat bodoh dimata mereka. Lembaga-lmbaga pendidikan di negara-negara maju telah mencerabut akar anak-anak negeri dari tanah tumpah darah mereka. Yang muncul, lalu, cemoohan dan selalu memandang rendah bangsa dan negaranya sendiri.
Itulah yang kemudian dikatakan oleh Joan sebagai kegagalan program-program beasiswa yang ada selama ini. Cita-cita berbagai program beasiswa yang bertujuan untuk meningkatkan SDM untuk membangun negeri hanya tinggal isapan jempol belaka. Bahkan pada mereka yang mendapatkan beasiswa pemerintah sekalipun. Sekali mereka tiba di negeri impian, ribuan cara dicari untuk tetap tinggal. Sepertinya fenomena itu tidak terkait dengan asal-muasal biaya sekolah. Bagi mereka-mereka yang berasal dari keluarga kaya yang hidupnya tak pernah sesentipun pun tergores dengan karat kemiskinan, cenderung untuk makin berusaha menanjak ke atas. Bagi mereka yang berangkat dari kubangan kemiskinan cenderung bersikap “balas dendam.” Mengunci dan mengubur dalam-dalam masa lalunya seakan tak pernah ada. Dua-duanya sama-sama enggan menoleh kebelakang; dua-duanya sama-sama enggan untuk pulang.
Inilah gambaran situasi dimana kuliah ke luar negeri bukannya membawa perubahan yang baik untuk negeri sendiri, tapi justru sebaliknya.
Aku pun pernah merasakan hal yang sama. Saat awal-awal kedangatan, aku berubah, lalu, melihat Indonesia dengan cara pandang yang berbeda. Indonesia tidak lagi terlihat sebagai wajah-wajah riang teman sepermainan dikala berebut layangan putus. Indonesia tak lagi terlihat sebagai rumah nenek yang sejuk disaat kemarau dan terasa hangat dimusim hujan. Berada di Amerika membuatku tak bisa lagi melihat Indonesia sebagai kerumunan kerabat yang berisak tangis bahagia saat bermaafan diwaktu lebaran. Indonesia tak lagi nampak sebagai ladang dimana orang tuaku berkerja demi menyelamatkanku dari rasa lapar. Indonesia tak lagi terlihat sebagai bongkah tanah yang memberikan kehidupan pada segenggam janin, tiga puluh empat tahun lalu.
Indonesia bukan lagi ibu. Di mataku, lalu, Indonesia hanyalah objek yang patut dikasihani, tapi bukan untuk dicintai.
***
Bangunan dan peralatan serba mewah di kampus, ditambah dengan “mental bangsa terjajah,” telah menyilaukan mataku atas segala yang serba Amerika. Seperti pernah dikatakan pemikir besar asal Mauritania, Frantz Fanon, bahwa pasca kolonialisme, manusia merasa bahwa Tuhan telah menciptakan dua spesies yang berbeda, yaitu bangsa kulit putih dan lainnya (the rest). Keyakinan ini memunculkan anggapan bahwa kegagalan yang ada pada diri Indonesia adalah sebab kebodohan dan ketidakbecusan bangsa ini mengelola dirinya. Tidak seperti bangsa Amerika dan Eropa yang pintar dan beradab, bangsa kita telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam nestapa kemiskinan dan ketertinggalan. Begitu pikirku saat itu. Kalimat-kalimat seperti: “Seharusnya kita meniru sistem perekonomian, pendidikan, hukum, dan politik seperti Amerika, Inggris, Jerman, dll” senantiasa terceruat dari alam bawah sadar.
Harus diakui memang, kebanyakan praktik-praktik kelembagaan di negara-negara seperti Amerika dan Eropa Barat terbukti lebih baik dari yang kita punya. Pada saat yang sama juga harus diakui bahwa korupsi, kemiskinan, premanisme dan uangisme politik, SDM birokrasi yang rendah, perusahaan-perusaha an yang tak memiliki daya saing, diplomasi internasional yang buruk, telah bercampur aduk menumbuhsuburkan rasa pesimisme terhadap negeri ini.
Karena kelemahan-kelemahan itu pulalah, bibir ibu pertiwiku menjadi tak seindah bibir Angelina Jolie. Kakinya tak lagi seindah kaki Zhang Zi Yi dan matanya tak tak lagi seindah mata Freida Pinto. Tubuh ibu pertiwiku telah lungkrah oleh masalah-masalah. Tapi apakah kita tega mentransplantasi bibir dan mata artis-artis itu ketubuh ibu pertiwi? Mengamputasi kakinya dan menggantinya dengan kaki orang lain? Kalau tak, lantas apa? Apakah benar-benar tak ada lagi harapan bagi Indonesia?
***
Persoalan mentalitasku waktu itu sebenarnya berangkat dari rasa tak percaya diri yang akut. Rasa tak percaya diri membuat segala yang ada di diri orang lain selalu tampak lebih sempurna,dan sebaliknya, segala yang ada dalam diri sendiri selalu tampak buruk rupa. Masalah korupsi misalnya, aku selalu melihat dan percaya pada data-data keluaran lembaga asing bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia. Padahal, negara sekelas Amerika Serikat sekalipun sebenarnya masih memiliki banyak persoalan serupa itu. Tahun lalu negera kampiun demokrasi ini dicengangkan oleh kasus korupsi koperasi pengelola jasa energi Pedernales Co-op. Hal ini telah menyibak kosmetik tebal atas bopengnya sistem penanggulangan korupsi di negara cowboy ini. Hingga anggota congres Jim Cooper mengatakan "If you think Pedernales is the only
electric cooperative scandal in America, then you believe there can only be one cockroach.”
Ini belum termasuk bicara soal keterlibatan John McCain dalam kasus Linclon Savings, yang, meskipun begitu lolos menjadi calon presiden (dan dipilih hampir 40 juta orang!) dan keterlibatan George W. Bush dalam kasus skandal Enron. Di Inggris, pemerintah tak ma(mp)u menangani persoalan layanan kesehatan jiwa dengan baik. Lord Layard, guru besar emeritus di Centre for Economic Performance of the London School of Economics, mengatakan bahwa 15% dari total populasi UK menderita depresi mental, dan hanya 4% darinya yang mendapatkan penanganan terapi psikologis hingga tahun kemarin. Di Italy, tepatnya di Kota Napoli, pemerintah daerah kelabakan menangani timbunan sampah yang meluber hingga ke jalan-jalan raya kota. Dan tentu saja, kerapuhan sistem finansial dunia yang memperbolehkan sekuritisasi investasi dan inovasi kredit subprime adalah bentuk kebodohan yang tiada tara yang dengan dengan “sukses” telah memerosokkan ekonomi dunia secara kolosal.
Tapi aku masih saja lidahku mudah terdecak kagum atas sebuah spesies yang bernama "Barat."
Ciri lain dari manusia rendah/tak percaya diri adalah tidak bisa melihat kelebihan atau potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Sebulan lalu ada sebuah pertemuan internasional yang dihadiri peserta dan seluruh penjuru dunia. Dan ternyata para peserta dari Indonesia mampu menunjukkan kemampuannya untuk dapat memimpin konferensi meski tanpa harus menggunakan cara-cara Barat (mendominasi dan menaklukan). Indonesia memiliki budaya yang luhur dan bersahabat yang sesungguhnya dapat membuat kita bisa memiliki soft power; yaitu pengaruh yang bisa diterima secara universal tanpa tekanan uang dan nuklir (hard power).
Total GDP kita (tentunya setelah dikurangi kekayaan Indonesia ang dicuri perusahaan-perusaha an asing) masih nomor 13 terbesar di dunia. Menurut catatan John Maynard Keynes, pulau Jawa saja di tahun 1930an menempati posisi keenam produsen terbesar di dunia. Kekayaan ragam makanan, kerajinan dan alam tentu telah sering kita dengar, sesering kita mendengar hal-hal itu dicuri hak patennya oleh negara lain.
Ibu pertiwi tak perlu cangkokan gegebah dari hal-hal yang serba luar negeri (baik yang kebarat-baratan, kearab-araban, kechina-chinaan, dll). Kasman Singodimedjo pernah berkata: “ambillah yang baik-baik dari luar dan pertahankan yang baik-baik dari dalam” saat perumusan Pancasila. Dulu, kalimat itu terdengar sangat naif ditelingaku. Sebab aku berpikir itu adalah sikap yang tak tegas. Aku kira sikap yang benar itu adalah yang tegas, hitam putih. Kalau kapitalis ya kapitalis
sekalian, kalau sosialis ya sosialis saja sekalian. Tapi ternyata Amerika Serikat juga sama saja. Seorang ekonom besar Amerika James K. Galbraith selalu mengatakan bahwa ekonomi Amerika itu berdiri diatas campurbaurnya ideologi-ideologi liberalisme, proteksionisme dan Keynsianisme. Lihat saja, sebagai bukti konkret, betapa miripnya kebijakan bail out pasca krisis yang ditempuh oleh Bush dan Obama dalam menghadapi krisis 2008.
***
Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta. Kora Selatan pada dekade 1980an membangun ekonominya salah satunya dengan memperkuat perusahaan-perusaha an dalam negerinya untuk bersaing di pasar global. Satu stratgi utamanya adalah memperkuat pasar domestik. Dengan hanya bermodalkan jumlah penduduk yang “hanya” 50 juta saja (sepertlima dari Indonesia), dalam waktu 15 tahun mereka bisa mencetak perusahaan-perusaha an raksasa seperti Hyundai, Samsung, Daewoo, LG, Kia, dan Nong Shim. Bongwook Lee, seorang kawan dari Korea, setelah kami selesai menyantap samgyeobsal, berbagai sup kimchi, dan saengseon jjim, bertanya padaku: “Fadil, kamu tahu kenapa orang Korea kalau makan cepat sekali?” Aku menggeleng. Lalu dia menjawab “karena dulu kami bangsa yang sangat miskin, sehingga harus cepat-cepat makan agar tak kehabisan.”
Ekonomi Indonesia, dalam kancah dunia adalah ekonomi peripheral. Tentulah kita tak dapat bermimpi untuk menjadi negara hegemon (dalam istilah Immanuel Wallernstein “the core”) atau “allies” sekalipun, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah. Tetapi “takdir” ekonomi politik internasional ini bukalah menjadi alasan bagi kita untuk pasrah saja, nrimo ing pandhum. Lihat saja Malaysia misalnya, dalam skema politik ekonomi global, posisinya sama dengan kita, tapi data faktual menunjukkan pembangunan ekonomi mereka bergerak sangat cepat praktis sejak National Economic Policy (NEP) ditahun 1980an. Dan sekarang GDP perkapita mereka telah tiga kali lipat dibandingkan Indonesia, Petronas telah menjadi peuruahaan skala global. Hal yang sama juga kita bisa lihat pada Chile, Afrika Selatan, dan Brazil.
Kalau hendak berkaca pada strategi Korea Selatan, maka prioritas utama pembangunan adalah perkuat pasar domestik! Yang secara langsung artinya adalah tingkatkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang banyak dan sejahtera berarti fundamen kokoh bagi berkembangnya industri-industri dalam negeri yang tidak hanya menetek pada foreign direct investment (FDI) yang mudah terkena krisis seperti di tahun 1997, dan juga bukan ekonomi yang hanya mengandalkan pasar Amerika dan Eropa yang juga terbukti rapuh menghadapi krisis 2008. Keduanya: Modal dan Pasar, utamanya haruslah dari dalam negeri! Negara harus mampu menahan modal milik sendiri berputar di dalam negeri, artinya batasi kemudahan cukong-cukong dalam melarikan duit mereka ke Singapura dan Hongkong. Yang dengan demikian, kurangi ketergantungan finansial prusahaan-perusahan kita terhadap investor asing.
Menasionalisasi perusahaan-perusahan asing yang sekarang sedang beroperasi, seperti yang dilakukan Hugo Chavez terhadap Verizon dan AES Corp., tentulah bukan jalan bijaksana. Mungkin kita bisa saja sebut mereka maling, tapi toh itu tidak membuat kita juga harus menjadi maling juga bukan? Yang patut dilakukan adalah mendesak mereka untuk merevisi kontrak kerja yang lebih adil dalam pembagian hasil serta dibuka luasnya transfer teknologi dan transfer pengetahuan seperti yang dilakukan Taiwan. Pun, dengan adanya krisis finansial global 2008 ini, sudah saatnya kita melihat alternatif potensi kerja sama ekonomi. Tidak hanya terfokus pada Amerika Serikat dan Eropa saja, melainkan potensi-potensi ekonomi lain, sebagaimana kebijakan fenomenal “Look East” dari Mahathir “the Little Sukarno” Muhammad.
Tentulah, bila ada ruang lebih luas untuk berbincang, akan lebih banyak lagi pemetaan persoalan dan tawaran alternatif solusi untuk kembali memperjelita tubuh ibu pertiwi ini. Maka pertanyaan besar untukku, dan mungkin juga untuk kawan-kawan di Keong Mas, adalah: setelah melanglangbuana kenegeri-negeri atas awan, apakah aku makin tercerabut dari akar ke-Indonesiaan- ku? Perubahan macam apa yang terjadi setelah dua tahun ‘pergi dari rumah’: makin membenci, menjadi kasihan atau kembali mencintai Indonesia? Bila yang terakhirlah jawabannya, maka, apakah aku yakin bahwa aku telah menemukan cara yang terbaik untuk mencintainya?
East Austin, Medio April 2009
Tulisan ini dibuat utamanya didedikasikan untuk launching website www.waraskita. net : sebuah website tempat berkumpulnya anak-anak cerdas milik bangsa: "Keong Mas"
Jauh sebelum kakiku menginjak bandara Portland Oregon, setelah belasan tahun berkubang kerasnya realitas di tanah air, aku, dulu, merasa begitu benci dengan Indonesia. Setiap sudut di mana mata tertumbuk, selalu berakhir dengan bercecarnya sumpah serapah dari mulutku. Melihat kekanan: orang-orang berseragam coklat keluar masuk mall di jam kerja. Melihat kekiri supir angkot ugal-ugalan di jalan, lihat kedepan para pengusaha-pengusaha besar bawa lari duit ke Singapura dan Hongkong, lihat kebelakang hutan dibabat, emas dan minyak dirampok oleh Exxon dan Freeport. Di samping: orang-orang pintar milik negeri tak mau pulang membangun bangsanya. Di bawah: tampak seorang anak tertidur pulas di tepi pasar saat lalat-lalat mengerubungi tepian mulutnya.
Melihat ke atas: tak ada apa-apa selain sebuah harapan tentang keberadaan Tuhan yang gusar melihat ketidakadilan yang sudah berjalan lebih dari 400 tahun di atas jamrud katulistiwa yang tak lagi hijau ini.
Hidup bergerak dari satu ruang keruang yang lain berkendarakan waktu. Tak terbayang tujuh tahun lalu, saat setiap malam aku menggelar sarung dan bersiap tidur di atas meja sekolah di Kedaton, Lampung, bahwa pagi ini aku terbangun di kasur empuk di sebuah apartemen. Jauh dari impian lima tahun lalu saat sarapan nasi jagung di sudut jalan Wonokromo Surabaya bahwa tahun kemarin aku menyantap semangkuk leberknödelsuppe di Andalo Italy. Tak terbesit secuilpun dalam benak saat terik matahari membakar tubuhku yang sedang menyusuri pematang ladang di Lamongan Jawa Timur bahwa pada sebuah masa tubuh ini rebah di atas rerumputan lembut di tepian Central Park Manhattan.
Tetapi apa arti itu semua? Apakah pikiranku telah melangkah sejauh tubuh ini berpindah? Apakan hanya ada guratan ekspresi yang sama di setiap foto yang berlatar puluhan negeri? Atau, apakah memang sudah seharusnya tak ada yang berubah?
Aku teringat sebuah pidato yang disampaikan dengan sangat lugas dari seorang berhati lembut bernama Joan Dassin. Dia berkata bahwa pada umumnya anak-anak yang berkesempatan kuliah di luar negeri (terutama dari negara-negara berkembang) setelah selesai study mereka akan menganggap orang-orang di negaranya menjadi semakin terlihat bodoh dimata mereka. Lembaga-lmbaga pendidikan di negara-negara maju telah mencerabut akar anak-anak negeri dari tanah tumpah darah mereka. Yang muncul, lalu, cemoohan dan selalu memandang rendah bangsa dan negaranya sendiri.
Itulah yang kemudian dikatakan oleh Joan sebagai kegagalan program-program beasiswa yang ada selama ini. Cita-cita berbagai program beasiswa yang bertujuan untuk meningkatkan SDM untuk membangun negeri hanya tinggal isapan jempol belaka. Bahkan pada mereka yang mendapatkan beasiswa pemerintah sekalipun. Sekali mereka tiba di negeri impian, ribuan cara dicari untuk tetap tinggal. Sepertinya fenomena itu tidak terkait dengan asal-muasal biaya sekolah. Bagi mereka-mereka yang berasal dari keluarga kaya yang hidupnya tak pernah sesentipun pun tergores dengan karat kemiskinan, cenderung untuk makin berusaha menanjak ke atas. Bagi mereka yang berangkat dari kubangan kemiskinan cenderung bersikap “balas dendam.” Mengunci dan mengubur dalam-dalam masa lalunya seakan tak pernah ada. Dua-duanya sama-sama enggan menoleh kebelakang; dua-duanya sama-sama enggan untuk pulang.
Inilah gambaran situasi dimana kuliah ke luar negeri bukannya membawa perubahan yang baik untuk negeri sendiri, tapi justru sebaliknya.
Aku pun pernah merasakan hal yang sama. Saat awal-awal kedangatan, aku berubah, lalu, melihat Indonesia dengan cara pandang yang berbeda. Indonesia tidak lagi terlihat sebagai wajah-wajah riang teman sepermainan dikala berebut layangan putus. Indonesia tak lagi terlihat sebagai rumah nenek yang sejuk disaat kemarau dan terasa hangat dimusim hujan. Berada di Amerika membuatku tak bisa lagi melihat Indonesia sebagai kerumunan kerabat yang berisak tangis bahagia saat bermaafan diwaktu lebaran. Indonesia tak lagi nampak sebagai ladang dimana orang tuaku berkerja demi menyelamatkanku dari rasa lapar. Indonesia tak lagi terlihat sebagai bongkah tanah yang memberikan kehidupan pada segenggam janin, tiga puluh empat tahun lalu.
Indonesia bukan lagi ibu. Di mataku, lalu, Indonesia hanyalah objek yang patut dikasihani, tapi bukan untuk dicintai.
***
Bangunan dan peralatan serba mewah di kampus, ditambah dengan “mental bangsa terjajah,” telah menyilaukan mataku atas segala yang serba Amerika. Seperti pernah dikatakan pemikir besar asal Mauritania, Frantz Fanon, bahwa pasca kolonialisme, manusia merasa bahwa Tuhan telah menciptakan dua spesies yang berbeda, yaitu bangsa kulit putih dan lainnya (the rest). Keyakinan ini memunculkan anggapan bahwa kegagalan yang ada pada diri Indonesia adalah sebab kebodohan dan ketidakbecusan bangsa ini mengelola dirinya. Tidak seperti bangsa Amerika dan Eropa yang pintar dan beradab, bangsa kita telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam nestapa kemiskinan dan ketertinggalan. Begitu pikirku saat itu. Kalimat-kalimat seperti: “Seharusnya kita meniru sistem perekonomian, pendidikan, hukum, dan politik seperti Amerika, Inggris, Jerman, dll” senantiasa terceruat dari alam bawah sadar.
Harus diakui memang, kebanyakan praktik-praktik kelembagaan di negara-negara seperti Amerika dan Eropa Barat terbukti lebih baik dari yang kita punya. Pada saat yang sama juga harus diakui bahwa korupsi, kemiskinan, premanisme dan uangisme politik, SDM birokrasi yang rendah, perusahaan-perusaha an yang tak memiliki daya saing, diplomasi internasional yang buruk, telah bercampur aduk menumbuhsuburkan rasa pesimisme terhadap negeri ini.
Karena kelemahan-kelemahan itu pulalah, bibir ibu pertiwiku menjadi tak seindah bibir Angelina Jolie. Kakinya tak lagi seindah kaki Zhang Zi Yi dan matanya tak tak lagi seindah mata Freida Pinto. Tubuh ibu pertiwiku telah lungkrah oleh masalah-masalah. Tapi apakah kita tega mentransplantasi bibir dan mata artis-artis itu ketubuh ibu pertiwi? Mengamputasi kakinya dan menggantinya dengan kaki orang lain? Kalau tak, lantas apa? Apakah benar-benar tak ada lagi harapan bagi Indonesia?
***
Persoalan mentalitasku waktu itu sebenarnya berangkat dari rasa tak percaya diri yang akut. Rasa tak percaya diri membuat segala yang ada di diri orang lain selalu tampak lebih sempurna,dan sebaliknya, segala yang ada dalam diri sendiri selalu tampak buruk rupa. Masalah korupsi misalnya, aku selalu melihat dan percaya pada data-data keluaran lembaga asing bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia. Padahal, negara sekelas Amerika Serikat sekalipun sebenarnya masih memiliki banyak persoalan serupa itu. Tahun lalu negera kampiun demokrasi ini dicengangkan oleh kasus korupsi koperasi pengelola jasa energi Pedernales Co-op. Hal ini telah menyibak kosmetik tebal atas bopengnya sistem penanggulangan korupsi di negara cowboy ini. Hingga anggota congres Jim Cooper mengatakan "If you think Pedernales is the only
electric cooperative scandal in America, then you believe there can only be one cockroach.”
Ini belum termasuk bicara soal keterlibatan John McCain dalam kasus Linclon Savings, yang, meskipun begitu lolos menjadi calon presiden (dan dipilih hampir 40 juta orang!) dan keterlibatan George W. Bush dalam kasus skandal Enron. Di Inggris, pemerintah tak ma(mp)u menangani persoalan layanan kesehatan jiwa dengan baik. Lord Layard, guru besar emeritus di Centre for Economic Performance of the London School of Economics, mengatakan bahwa 15% dari total populasi UK menderita depresi mental, dan hanya 4% darinya yang mendapatkan penanganan terapi psikologis hingga tahun kemarin. Di Italy, tepatnya di Kota Napoli, pemerintah daerah kelabakan menangani timbunan sampah yang meluber hingga ke jalan-jalan raya kota. Dan tentu saja, kerapuhan sistem finansial dunia yang memperbolehkan sekuritisasi investasi dan inovasi kredit subprime adalah bentuk kebodohan yang tiada tara yang dengan dengan “sukses” telah memerosokkan ekonomi dunia secara kolosal.
Tapi aku masih saja lidahku mudah terdecak kagum atas sebuah spesies yang bernama "Barat."
Ciri lain dari manusia rendah/tak percaya diri adalah tidak bisa melihat kelebihan atau potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Sebulan lalu ada sebuah pertemuan internasional yang dihadiri peserta dan seluruh penjuru dunia. Dan ternyata para peserta dari Indonesia mampu menunjukkan kemampuannya untuk dapat memimpin konferensi meski tanpa harus menggunakan cara-cara Barat (mendominasi dan menaklukan). Indonesia memiliki budaya yang luhur dan bersahabat yang sesungguhnya dapat membuat kita bisa memiliki soft power; yaitu pengaruh yang bisa diterima secara universal tanpa tekanan uang dan nuklir (hard power).
Total GDP kita (tentunya setelah dikurangi kekayaan Indonesia ang dicuri perusahaan-perusaha an asing) masih nomor 13 terbesar di dunia. Menurut catatan John Maynard Keynes, pulau Jawa saja di tahun 1930an menempati posisi keenam produsen terbesar di dunia. Kekayaan ragam makanan, kerajinan dan alam tentu telah sering kita dengar, sesering kita mendengar hal-hal itu dicuri hak patennya oleh negara lain.
Ibu pertiwi tak perlu cangkokan gegebah dari hal-hal yang serba luar negeri (baik yang kebarat-baratan, kearab-araban, kechina-chinaan, dll). Kasman Singodimedjo pernah berkata: “ambillah yang baik-baik dari luar dan pertahankan yang baik-baik dari dalam” saat perumusan Pancasila. Dulu, kalimat itu terdengar sangat naif ditelingaku. Sebab aku berpikir itu adalah sikap yang tak tegas. Aku kira sikap yang benar itu adalah yang tegas, hitam putih. Kalau kapitalis ya kapitalis
sekalian, kalau sosialis ya sosialis saja sekalian. Tapi ternyata Amerika Serikat juga sama saja. Seorang ekonom besar Amerika James K. Galbraith selalu mengatakan bahwa ekonomi Amerika itu berdiri diatas campurbaurnya ideologi-ideologi liberalisme, proteksionisme dan Keynsianisme. Lihat saja, sebagai bukti konkret, betapa miripnya kebijakan bail out pasca krisis yang ditempuh oleh Bush dan Obama dalam menghadapi krisis 2008.
***
Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta. Kora Selatan pada dekade 1980an membangun ekonominya salah satunya dengan memperkuat perusahaan-perusaha an dalam negerinya untuk bersaing di pasar global. Satu stratgi utamanya adalah memperkuat pasar domestik. Dengan hanya bermodalkan jumlah penduduk yang “hanya” 50 juta saja (sepertlima dari Indonesia), dalam waktu 15 tahun mereka bisa mencetak perusahaan-perusaha an raksasa seperti Hyundai, Samsung, Daewoo, LG, Kia, dan Nong Shim. Bongwook Lee, seorang kawan dari Korea, setelah kami selesai menyantap samgyeobsal, berbagai sup kimchi, dan saengseon jjim, bertanya padaku: “Fadil, kamu tahu kenapa orang Korea kalau makan cepat sekali?” Aku menggeleng. Lalu dia menjawab “karena dulu kami bangsa yang sangat miskin, sehingga harus cepat-cepat makan agar tak kehabisan.”
Ekonomi Indonesia, dalam kancah dunia adalah ekonomi peripheral. Tentulah kita tak dapat bermimpi untuk menjadi negara hegemon (dalam istilah Immanuel Wallernstein “the core”) atau “allies” sekalipun, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah. Tetapi “takdir” ekonomi politik internasional ini bukalah menjadi alasan bagi kita untuk pasrah saja, nrimo ing pandhum. Lihat saja Malaysia misalnya, dalam skema politik ekonomi global, posisinya sama dengan kita, tapi data faktual menunjukkan pembangunan ekonomi mereka bergerak sangat cepat praktis sejak National Economic Policy (NEP) ditahun 1980an. Dan sekarang GDP perkapita mereka telah tiga kali lipat dibandingkan Indonesia, Petronas telah menjadi peuruahaan skala global. Hal yang sama juga kita bisa lihat pada Chile, Afrika Selatan, dan Brazil.
Kalau hendak berkaca pada strategi Korea Selatan, maka prioritas utama pembangunan adalah perkuat pasar domestik! Yang secara langsung artinya adalah tingkatkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang banyak dan sejahtera berarti fundamen kokoh bagi berkembangnya industri-industri dalam negeri yang tidak hanya menetek pada foreign direct investment (FDI) yang mudah terkena krisis seperti di tahun 1997, dan juga bukan ekonomi yang hanya mengandalkan pasar Amerika dan Eropa yang juga terbukti rapuh menghadapi krisis 2008. Keduanya: Modal dan Pasar, utamanya haruslah dari dalam negeri! Negara harus mampu menahan modal milik sendiri berputar di dalam negeri, artinya batasi kemudahan cukong-cukong dalam melarikan duit mereka ke Singapura dan Hongkong. Yang dengan demikian, kurangi ketergantungan finansial prusahaan-perusahan kita terhadap investor asing.
Menasionalisasi perusahaan-perusahan asing yang sekarang sedang beroperasi, seperti yang dilakukan Hugo Chavez terhadap Verizon dan AES Corp., tentulah bukan jalan bijaksana. Mungkin kita bisa saja sebut mereka maling, tapi toh itu tidak membuat kita juga harus menjadi maling juga bukan? Yang patut dilakukan adalah mendesak mereka untuk merevisi kontrak kerja yang lebih adil dalam pembagian hasil serta dibuka luasnya transfer teknologi dan transfer pengetahuan seperti yang dilakukan Taiwan. Pun, dengan adanya krisis finansial global 2008 ini, sudah saatnya kita melihat alternatif potensi kerja sama ekonomi. Tidak hanya terfokus pada Amerika Serikat dan Eropa saja, melainkan potensi-potensi ekonomi lain, sebagaimana kebijakan fenomenal “Look East” dari Mahathir “the Little Sukarno” Muhammad.
Tentulah, bila ada ruang lebih luas untuk berbincang, akan lebih banyak lagi pemetaan persoalan dan tawaran alternatif solusi untuk kembali memperjelita tubuh ibu pertiwi ini. Maka pertanyaan besar untukku, dan mungkin juga untuk kawan-kawan di Keong Mas, adalah: setelah melanglangbuana kenegeri-negeri atas awan, apakah aku makin tercerabut dari akar ke-Indonesiaan- ku? Perubahan macam apa yang terjadi setelah dua tahun ‘pergi dari rumah’: makin membenci, menjadi kasihan atau kembali mencintai Indonesia? Bila yang terakhirlah jawabannya, maka, apakah aku yakin bahwa aku telah menemukan cara yang terbaik untuk mencintainya?
East Austin, Medio April 2009
Tulisan ini dibuat utamanya didedikasikan untuk launching website www.waraskita. net : sebuah website tempat berkumpulnya anak-anak cerdas milik bangsa: "Keong Mas"
No comments:
Post a Comment