Ratna Sarumpaet bohong! Begitulah penilaian publik. Juga hasil penyidikan. Sudah ada keputusan pengadilan? Entahlah. Publik cenderung melupakannya. Yang pasti, Ratna ditangkap dan ditahan atas kebohongan publik. Proses hukumnya? Masih misteri.
Ratna sendirian? Publik ragu. Lalu, apa tujuan dan maksud Ratna Sarumpaet melakukan itu? Publik menunggu. Kasus ini harus dibongkar. Supaya ada kejelasan dan tidak berhenti di panggung politik.
Kasus ini sudah memakan korban sejumlah tokoh dan sejumlah pendukungnya. Dituduh telah terlibat membuat hoax. Secara politik, ini merugikan. Hingga sekarang, tak jelas siapa sutradara hoax di balik Ratna Sarumpaet. Mesti diusut tuntas.
Kebohongan publik Ratna sudah menjadi kasus hukum. Maka, harus dituntaskan secara hukum. Jangan hanya berhenti di perspektif dan opini politik. Tidak baik sebagai warisan moral anak bangsa.
Kasus Ratna berlalu, muncul kasus Drijon Sihotang di Medan. Pedagang ini memasang spanduk penolakan kedatangan Sandi di salah satu pasar tradisional. Sandi menghampirinya dan ajak bicara. Santun dan ramah. Publik mengapresiasi langkah Sandi. Sabar dan dengan sikap positif.
Belakangan, ramai di media bahwa Sandi dituduh merekayasa peristiwa itu. Erick Tohir, temen dari kecil Sandi yang sekarang jadi Ketua Timses Jokowi adalah salah satu yang ikut di dalamnya. Sandi di-bully sebagai pembuat hoax yang canggih. Sandi lapor polisi? Tidak. Kendati tak terbukti.
Kasus ini justru jadi luck buat Sandi. Dapat dua poin. Pertama, karena bersikap positif. Kedua, tuduhan rekayasa tak terbukti. Publik semakin berempati kepada Sandi.
Setelah kasus Drijon, muncul Imas Siti Masitoh. Ibu muda dari Sumedang ini menangis agak histeris untuk bisa berfoto dengan Sandi. Sedikit emosional dan sensasional. Seperti adegan di film. Bahkan mirip teman Zulaikha ketika ketemu Nabi Yusuf. Sssst…kejauhan! Sekedar analogi tak masalah.
Imas caleg PAN! Itu mah direkayasa! Kentara banget! Begitulah buzzer, entah punya siapa, langsung bekerja menghajar Sandi. Ternyata, salah! Ibu Imas bukan caleg PAN.
Tidak berhenti di Imas. Ada Ilyas Daeng Ila. Orang Sulawesi. Jumpa Sandi dalam keadaan badan berlumpur. Curhat dan di-shoot kamera. Ini dia! Kata buzzer. Dapat nih bahan. Masak ketemu cawapres telanjang? Badannya berlumpur lagi. Anehnya, yang berlumpur hanya dadanya, punggungnya enggak. Pasti pencitraan! Kali ini, mampus loh!
Buzzer bekerja. Temanya: Sandi pencitraan. Di-bully habis. Bahannya menarik. Publik pasti percaya! Ternyata? Si Daeng testimoni. Dia barusan bersihin lumpur di kolong tempat tidur, setelah rumahnya diguyur banjir. Ia lakukan dengan tengkurap. Ya, pastilah yang kena lumpur dadanya. Lalu dengar kabar ada cawapres Sandiaga yang sedang blusukan ke kampungnya. Spontan si Daeng pergi, nyamperin Sandi. Kondisi badannya yang telanjang-berlumpur mendorong Sandi memanggilnya. Kok di-shoot kamera? Siapapun capres dan cawapres, semua aktifitas kampanyenya pasti dishoot kamera.
Drijon, Imas dan Ilyas Daeng harus berterima kasih kepada buzzer-buzzer itu. Karena mereka, tiga orang kampung ini mendadak jadi terkenal.
Tak kalah terkenalnya adalah Subhan. Petani Brebes ini mendadak jadi populer. Kepilauan hatinya sebagai petani akibat harga bawang yang hancur, mendorong ia terpaksa menumpahkan banyak air mata ketika curhat ke Sandi. Kenapa ke Sandi? Subhan mungkin berpikir bahwa Sandi orang yang tepat. Bisa memberi solusi. Tentu, setelah terpilih jadi wapres.
Masak laki-laki segagah itu menangis? Lebay! Ngaku-ngaku miskin dan rumahnya tergadai. Padahal pakai jam tangan mahal. Ganjil! Lalu diusut, ternyata Subhan mantan komisioner KPUD. Ini dia! Bahan bagus banget. Kalau yang satu ini tidak akan salah lagi. Gak bakal meleset. Pikir tim buzzer.
Buzzer pun bekerja. Dilengkapi dengan surat pernyataan bermaterai bahwa Subhan minta maaf karena telah melakukan kebohongan publik. Surat pernyataan ini beredar masif di medsos. Publik terkesima. Ada-ada ini Sandi! Nalar publik mulai terkecoh.
Untung ada TV One. Langsung wawancara Live dengan Subhan. Di TV, Subhan bersuara. Suaranya keras. Nampak kesal dan emosional. Terutama kepada Guntur Romli, atas tulisan dan komentarnya di medsos. Subhan tegas: tak ada rekayasa. Tak pernah ia buat surat pernyataan itu. Dan Subhan sudah melaporkan Guntur Romli dan si pembuat surat palsu ke Bareskrim. Akankah laporan Subhan ditindaklanjuti? Kita percayakan pada polisi. Rakyat menunggu.
Empat kasus, dengan menyisakan pertanyaan terkait kasus Ratna Sarumpaet, seolah memberi kesimpulan kepada publik bahwa ada sekenario meng-hoak-kan Prabowo-Sandi. Ini seperti bagian dari strategi politik. Ada penggiringan opini. Oleh siapa? Aneh kalau anda gak tahu! Pokoknya, apapun yang dilakukan Prabowo dan Sandi diopinikan sebagai hasil rekayasa. Sayangnya, tak berhasil.
Bersamaan dengan strategi meng-hoak-kan Prabowo-Sandi, viral video incumben yang sedang disutradarai. pertama, ketika shooting pidato. Kedua, dikejar-kejar sejumlah ibu-ibu yang bergantian menghampiri dan menangis saat incumben duduk di dalam mobil. Lengkap dengan suara sutradara dan pengarah gerakan.
Publik bertanya: kenapa video ini viral? Siapa yang berani memviralkan? Sebagian orang justru curiga. Menduga video ini sengaja diviralkan. Tujuannya? Memberi pesan bahwa kampanye itu adalah bagian dari pencitraan. Dalam politik, itu sah-sah saja dan wajar. Maka, Sandi pasti juga melakukan hal yang sama: pencitraan. Inilah “mungkin” pesan yang ingin disampaikan melalui bocornya dua video itu.
Selama ini, pesona Sandi berhasil melampaui incumben. Konsisten menggerus suara. Maka, strategi meng-hoak-kan (menciptakan opini pencitraan) Prabowo-Sandi boleh jadi dianggap efektif.
Sayangnya, strategi ini ceroboh. Tak digarap dengan rapi dan hati-hati. Serampangan dan terkesan amatiran. Akhirnya, justru jadi blunder.
Terbongkarnya empat kasus di atas menyadarkan rakyat betapa politik itu tak lagi punya batas norma dan rambu moral. Semua cara dihalalkan, kendati tak elegan. Ambisi untuk menang membuat sejumlah pihak gelap mata. Hati nurani tak lagi memiliki fungsi. Ironis!
Tapi, setidaknya, empat kasus ini memberi pelajaran sekaligus berhasil membuka mata rakyat siapa sesungguhnya para pemain hoak itu. Siapapun mereka, mari kita lawan!
Jakarta, 17 Februari 2019
Dr. TONY ROSYID
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Cakrawarta.com
-----------------------------------------------
Photo : didiclick by Naila
No comments:
Post a Comment