Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman lama di
sebuah kolam renang. Aku kebetulan mengantarkan si kecil Naila untuk
mulai ikut les renang. Saat kami berdua mengamati keceriaan anak-anak
kami bermain di kolam tiba-tiba sang teman menyeletuk, “La yaitu mbak,
anakku sudah 5 tahun belum juga bisa membaca, gimana ya mbak?”. Langsung
aku teringat juga kata-kata yang pernah ditujukan padaku baru-baru ini,
“Anakmu kok ngomongnya ra jelas ngono to di, akeh sih ngomong-e tapi
kadang angel dimengerti….ngawe bahasa opo to bocah kuwi. Padahal si A,
B, C wis cetho (bisa dimengerti) ngomong-e”. Dua kejadian tadi membuatku
berpikir “Apakah kita sebagai orang tua berhak atau memang punya
kewajiban untuk menentukan waktu atau kapan anak-anak kita harusnya
sudah menguasai sebuah ketrampilan. Contohnya ketrampilan membaca
ataupun ketrampilan berbicara seperti yang terjadi di atas?”. Sebuah
artikel yang baru-baru ini saya baca dari tumpukan file-file lama saya
yaitu “Buletin Seri Ayahbunda - 3 Tahun Pertama Yang Menentukan” mungkin
bisa jadi penentram hati sehingga paling tidak saya pribadi tidak perlu
merasa berkecil hati dan tetap semangat untuk terus belajar dalam
mendidik buah hati kami. (Note : tanpa bermaksud mengurangi makna
isinya, maka artikel dibawah ini sudah saya ubah dikit dan tambahkan
kata-katanya dengan tujuan agar saya pribadi bisa lebih paham maksudnya
saat membacanya)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kesiapan, Cinta dan Ketulusan
Sadar
atau tidak, kebiasaan kita membandingkan satu anak dengan anak yang
lain dalam satu keluarga ataupun dengan anak orang lain, kerap kali
kita sebagai orang tua lakukan. Dan biasanya diam-diam si orang tua akan
merasa senang ketika anaknya berhasil menguasai suatu kemampuan lebih
cepat dari anak-anak sebayanya. Sementara, jika anaknya terlambat
menguasai suatu kemampuan dbandingkan dengan anak-anak sebayanya maka
orang tua bukan main khawatirnya.
Standard Perkembangan Umum yang
bisanya menjadi tolak ukur “kenormalan” perkembangan anak-anak biasanya
malah sering menjadikan para orang tua menilai kemajuan anak-anaknya
dengan menyamaratakan kemampuan setiap anak. Padahal standard acuan
tersebut tidak bisa selalu dijadikan harga mati. Dimana bila seorang
anak pada usia tertentu belum bisa mencapai kemampuan ketrampilan
tertentu maka dia dianggap anak yang lamban. Mungkin saja, seorang anak
berkembang lebih lambat atau lebih cepat kalau mengacu pada standard
tersebut. Tetapi apakah kita perlu berkecil hati bila buah hati kita
agak lambat dibandingkan anak lain (itupun menurut standard umum tadi).
Karena sebenarnya pada akhirnya, semua anak yang sehat akan menguasai
kemampuan-kemampuan dasar tanpa perlu dipaksa. Karena ketika si kecil
siap, ia akan mulai belajar.
Kesiapan, nyatanya adalah kunci
dalam mempelajari sesuatu. Banyak riset menunjukkan hal ini. Bila anak
belum siap, tetapi anda memaksanya untuk belajar sesuatu maka biasanya
hasilnya tidak akan terlalu positif. Mungkin saja si anak akan melesat
terlalu dini tetapi biasanya akan layu terlalu dini juga. Tentu, bukan
berarti kita kemudian berhenti untuk mendorongnya, memberi stimulasi,
agar si kecil mau belajar dan menguasai kemampuan tertentu. Namun untuk
mendorong dan menyemangati anak, orang tua mesti mengenali si anak. Dan
untuk itu, anda perlu memiliki kepekaan. Kepekaan tentang kondisi si
anak, seperti apakah si kecil sedang dalam masa-masa yang sulit? Apakah
kebutuhannya, fisik maupun emosi sudah terpenuhi? Apakah anak dapat
mengungkapkan keinginannya dengan mudah dan dimengerti oleh orang-orang
di sekitarnya?
Mengenali kondisi anak, menyodorkan cinta yang
mendukung dan menerima dengan tulus keadaan anak anda, apa adanya,
adalah hal yang paling ideal. Dengan hal-hal ini ia niscaya akan tumbuh
menjadi seorang yang mandiri dan penuh percaya diri. Anak yang merasa
aman, karena tahu orang tuanya mencintainya apa adanya, akan berani
berusaha dan menanggung resiko dari apapun yan dilakukannya. Tugas kita
adalah memberi kesempatan si anak untuk siap dengan tidak memaksanya
menjadi pribadi lain, menerima kemampuan dia, dan mendorong dan
mendukung dia dengan cara-cara yang bijak.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga
tulisan ini bisa bermanfaat paling tidak untuk menyemangati diriku
dalam menikmati fase-fase pembelajaran putri-putriku. Bahkan aku jadi
teringat sebuah kata-kata bijak dari film kartun Mulan saat sang ayah
mencoba menghibur anak gadisnya yang merasa sedih karena merasa tidak
mampu meninggikan kehormatan keluarga. Saat mereka berdua duduk di bawah
pohon sakura sepulang Mulan gagal mengemban misi keluarga untuk menjadi
pengantin perempuan
“Astaga, tahun ini indah sekali bunga-bunga yang merekah”.
“Tapi lihat yang ini terlambat”
(sambil
tangan sang ayah menunjuk satu kuncup sakura yang belum juga merekah
diantara bunga-bunga sakura lain yang telah merekah indah).
“Tapi Ayah yakin jika ia mengembang, ia akan menjadi bunga yang terindah”
No comments:
Post a Comment