Sepulang sekolah, sambil sibuk membongkar isi tas
sekolahnya, seperti biasa Nadia [udah jadi siswa SMP] mulai asyik berceloteh tentang hal-hal yang
dialaminya sepanjang hari di sekolah.
Dan biasanya aku menemani dan mendengarkan
celotehannya sambil menyiapkan makanan siang, sekedar membuka-buka artikel di
laptopku ataupun membolak-balik buku-buku untuk mencari materi yang menurutku
akan asyik kalau dipakai untuk diskusi malam kami . “Masak ma, aku lihat ada
kakak kelas cewek-cowok yang pegang-pegangan tangan di mushola. Padahal yang
cewek pakai jilbab lo ma. Kok bisa ya?” dengan gaya polosnya dia lanjut bertanya. “Cowok-cewek
itu khan nggak boleh dekat-dekatan, iya khan ma?” lanjutnya lagi.
Sambil menyimak. aku berkata dalam hati, “Ini dia, masa itu sudah tiba". Yah waktu telah berlalu dan anakku sudah mulai menginjak usia remaja. Aku
sudah meyakini akan ada masa ketika aku harus menjelaskan tentang hal-hal
begini. Dan Sejak kami menikah, aku dan suami juga sudah bersepakat mencari
ilmu terus menerus untuk mencegah upaya-upaya tanpa sengaja kami mematikan curiosity dalam keluarga kami
terutama anak-anak kami. Dan saat ini, aku hanya berharap dalam hati semoga aku
bisa menyelesaikan tantangan kali ini.
Maka mulailah aku bertanya pendapat Nadia mengenai kejadian
tersebut. “Menurut kakak sendiri gimana sikap itu?”, tanyaku. Dengan tegas dia
menjawab “Ya ndak boleh ma., wong berdua-duaan aja dilarang. Apalagi pakai
pegang-pegangan tangan…..Iiiiiih.”. Mukanya jadi ikut mengeryit. Uh tanpa bisa
ditutupi aku bernafas lega. Alhamdulillah dia sudah bisa mengambil sikap. “Memang
kenapa kalau mereka nggak boleh dekat-dekatan?” tanyaku jadi ingin tahu. “Khan
mereka bukan muhrim”. Sekali lagi
kutarik nafas lega. Alhamdulillah dia sudah mulai memahami.
“Janganlah seorang laki-laki
berdua-duan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya”
(HR Bukhari & Muslim)
“Sungguh tidaklah seorang laki-laki
bersepi (berduan) dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga dari keduanya adalah
syaitan”
(HR at-Tarmidzi)
Celotehan Nadia tadi membawaku teringat salah satu kalimat
salah seorang motivator. “Mendidik seorang anak seyogyanya bukan baru dilakukan
ketika seorang anak dilahirkan, tidak juga ketika seorang anak masih berada dalam
kandungan. Namun seyogyanya dimulai saat seorang lelaki/wanita memilih calon
suami/istrinya. Maka pilihlah calon ibu atau ayah yang baik bagi anak-anak kita
” Yang memang menjadi salah satu hak
anak yang harus kita penuhi.
Jadi terkenang masa-masa sebelum aku memilih Mas suami
sebagai suami dan calon ayah bagi anak-anakku. Saat itu tentu saja pengetahuan
agamaku masih minim sekali dan sampai saat ini pun masih jauh dari mencukupi.
Kami bertemu saat kami berdua bekerja di sebuah perusahaan pertambangan asing
jauh di pelosok Kalimantan Timur. Aku adalah murid beliau di Human Resource
Center tempat beliau
bekerja sebagai trainner bagi para karyawan perusahaan. Dari sekedar pertemanan
di kantor dan sesekali bertemu di area Senior Camp - tempat tinggal kami,
seperti di Mess Hall – tempat kami makan dan Recreation Hall, area rekreasi
karyawan, para. akhirnya suatu hari beliau mengirimkan sepucuk surat elektronik - email kepadaku untuk
mengajak berbicara serius. Dan yang
membuat-ku terkesan sekali adalah pertanyaan pertama beliau kepadaku apakah aku
sudah di Khitbah oleh seseorang atau sedang menjalin hubungan dengan seseorang.
Tentu saja kujawan “tidak, dan tidak pernah”. Dan memang, InsyaAllah sepanjang
ingatanku, semasa remaja hingga dewasa aku belum pernah berkeinginan untuk
menjalin hubungan seperti pacaran dengan seorang lelaki-pun. Sejak remaja aku hanya memfokuskan diriku
untuk belajar, mencapai prestasi tertinggi yang aku mampu lakukan, lalu kemudian
bekerja untuk membuat kedua orang tuaku bahagia. Urusan berjodoh semua
kuserahkan kepada yang di atas. Sampai-sampai bapakku saja bingung karena kelihatannya
aku punya banyak teman lelaki, dari aktivitas organisasi yang kuikuti, yang berkunjung
ke rumah tetapi kok sepertinya tidak ada yang special bagiku….hehehe. Namun
alhamdulillah kedua orang tuaku tidak pernah sedikitpun memaksaku untuk segera
mencari jodoh.
Dan ternyata Mas suami-pun demikian, Insyaallah beliau belum
pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita-pun. Bahkan sedemikian cueknya
dia pada hal-hal seperti itu sampai-sampai iparnya mengatakan kalau beliau itu
setengah sufi deh…..walah ada-ada saja.
Dan akhirnya Mas suami-pun mengutarakan niatnya untuk
meminang diriku. Saat itu aku tentu saja belum bisa menjawab langsung. Karena
begitu jauhnya lokasi bekerjaku yang di Kalimantan
dengan tempat tinggal kedua orang tuaku maka aku mencari bantuan teman-teman
terdekatku untuk mencari informasi mengenai siapa dan bagaimana sebenarnya lelaki
yang meminangku ini. Alhamdulillah informasi positif diberikan oleh teman-teman
yang juga mengenal beliau dan mereka mendukung seadainya kami bersatu.
Maka demi untuk menjajagi
keseriusan beliau, aku mengajukan 3 syarat. Yang pertama, beliau harus segera pergi
ke Surabaya
untuk meminta-ku kepada ayah-ku. Yang kedua hari pernikahan harus
diselenggarakan as soon as possible dan tidak perlu bermewah-mewah. Yang
ketiga, selama menunggu proses menuju pernikahan aku tidak ingin kita kelihatan
runtang-runtung berdua seperti orang pacaran. Cukup hanya kita, sanak saudara
dan teman-teman terdekat kita saja yang tahu proses ini. Dan alhamdulillah semua
dengan gentlemen beliau penuhi. Beliau datang ke rumah Surabaya sendirian untuk meminta kepada
bapak. Lucunya karena lugunya dia datang-pun hanya bersandal jepit. Jadi
kebayang dengan tubuh kurus, wajah lugu seperti anak SMA dan bersandal jepit,
bagaimana dia bisa meyakinkan bapakku untuk menerima pinangannya. Dan aku
menginformasikan kedatangan beliau ke bapak hanya lewat telepon. Lalu Selama
proses menuju pernikahan-pun kami lebih sering berkomunikasi lewat e-mail
maupun telepon. Dan hanya seminggu sekali beliau datang untuk mengkonfirmasikan
beberapa hal ke barak-ku. Yang jarak sebenarnya cuma terpisah satu barak saja dari baraknya.
Dan itupun hanya kutemui di ruang tamu dan tidak boleh masuk kamarku (seperti
kebiasaan karyawan di sana
yang mengijinkan teman-teman lelakinya masuk ke dalam kamar mereka) .Sampai
teman-temanku dan teman-teman beliau
pada terkejut ketika kami menyerahkan undangan pernikahan yang baru kami
berikan 1 hari menjelang keberangkat kami pulang ke rumah kami masing-masing
untuk persiapan pernikahan di tanggal 1 April…..hihihi. Sampai-sampai mungkin
mereka mengira aku lagi keranjingan bikin “April Mop” seperti budaya barat.
Kamipun mencoba membuat pernikahan kami sesederhana mungkin
dengan memilih untuk membuat undangan pernikahan kami seminimalis mungkin namun
tidak kehilangan unsur keindahan dan berharap bisa didaur ulang menjadi sebuah
pembatas buku, dan bukan hanya jadi selembar kertas yang nantinya dibuang
percuma setelah membacanya. Aku ingat sekali, di dalam undangan itu tertulis Doa
Nabi Muhammad SAW pada pernikahan putrinya Fatimah Az Zahra dengan Ali Bin Abi
Thalib. Yang menjadi harapan kami juga dalam pernikahan kami
“Semoga Allah Menghimpun Yang Terserak dari keduanya,
memberkati mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas hidup mereka.
Menjadikan pembuka pintu rahmat, sumber ilmu dan hikmah serta pemberi rasa aman
bagi umat”
Lalu dibaliknya ada sebuah quote yang mencerminkan
kecintaan kami pada buku yang ingin kami wariskan kepada anak cucu kami kelak, sebagaimana
bapakku telah mewariskan kecintaan itu kepadaku.
“Buku adalah teman bicara yang tidak mendahului ketika kamu
sibuk, tidak memanggilmu ketika kamu tengah bekerja, tidak memaksamu agar kamu
berdandan untuknya. Dia teman duduk yang tidak menganggumu, sahabat yang tidak
membujukmu, kawan yang tidak membosankanmu dan penasehat yang tidak
mencari-cari kesalahanmu.’
(Ahmad Bin Ismail)
Acara
pernikahan kamipun digelar sesegara kemampuan kami untuk menyelenggarakan serta
tanpa mengikuti tetek bengek adat istiadat
yang biasanya ada pada pernikahan Jawa yang tidak ada tuntunanya dalam
Islam. Skip semua deh pokoknya…..hehehe. Dan alhamdulillah kedua orang tua kami
setuju. Walaupun kami harus juga bertenggang rasa kepada keinginan orang tua
untuk membuat acara yang sedikit besar dengan mengundang banyak tamu karena
sanak saudara dan teman-teman kedua orang tua kami yang banyak.
Barakallahu laka wabaaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fii
khoirin
“Semoga Allah senantiasa memberkahi anda dalam suka dan
duka dan menghimpun anda berdua dalam kebaikan
(HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Doa-doa para tamu menjadi penguat diri kami untuk menjalani
lembaran baru kehidupan kami. Memang tidak sesempurna kisah pernikahan yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta alim ulama.
Namun paling tidak kami mencoba untuk meneladani sedikit apa yang telah
dilakukan beliau dengan mencoba sedari muda menjaga pergaulan kami. Sehingga
kami mengharapkan dapat mengemban amanah dalam mendidik buah hati kami.
Kini masa telah berganti. Kami yang dulunya adalah seorang
anak saja kini harus mengemban juga amanah untuk menjadi orang tua bagi buah
hati kami. Maka upaya kami dulu untuk menjaga diri kami dan berusaha untuk
terus menerus menjadi hamba Allah yang baik, kini bertambah dengan amanah untuk
membantu anak-anak kami untuk menjadi pribadi-pribadi yang kuat dalam membela
agama Allah SWT hingga mereka dapat melahirkan generasi yang lebih baik lagi.
Kami-pun
mencoba beberapa upaya yang terus menerus kami lakukan. Yang pertama tentu saja
dengan terus menerus mendoakan anak-anak kami
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S Al Furqon :74)
Yang kedua adalah kami tetap berusaha secara
terus menerus untuk memberikan teladan yang baik sesuai dengan ajaran agama
walaupun masih dalam batas pemahaman keislaman kami yang masih terus menerus
kami coba tingkatkan. Bukankah teladan adalah sebaik-baiknya cara untuk
mendidik seorang anak.
Yang ketiga adalah mengajak mereka untuk lebih
mendekatkan diri dan memahami agama mereka dengan mendekatkan mereka kepada Al
Qur’an dan Hadits sebagai sumber pedoman kehidupan mereka nantinya.
Yang keempat kami selalu berupaya menyempatkan
diri untuk mengajak dia berdialog mengenai konsep-konsep Islam baik dalam
pergaulan antara lelaki dan perempuan, apalagi yang berhubungan dengan
kasus-kasus yang dia alami dalam kehidupan sehari-hari. Maupun dalam hal-hal
lain seputar kehidupan sebagai seorang muslim. Sehingga kami mengharapkan dia
bisa memiliki pikiran yang terbuka mengenai agama yang dia yakini dari kecil
ini. Di dalamnya pun, kami mulai sedikit demi sedikit juga membekali dia dengan
pengetahuan seputar perkawinan yang di dalamnya ada tanggung jawab, ibadah dan
kemulian dalam mengemban misi pembentukan generasi Islam sebagai sebuah amanah
dari Allah SWT.
Dalam hening malam lirih kuucap dalam dialogku kepada-Mu ya
Allah
Salatiga, 1 December 2013
Tulisan yang belum menembus salah satu "x"