i=\Kangen!!!....ihik....ihik.....aku masih tetap kangen pulang mudik yang menjadi tradisi keluarga kami.
Saat aku masih kecil, setiap semalam atau dua malam menjelang idul fitri, bapak dan ibu sudah mempersiapkan kami 7 bersaudara untuk melakukan perjalanan mudik. Tradisi ini menjadi hal yang sangat diwajibkan oleh bapak dan ibu, karena kesibukan dalam satu tahun tidak memungkinkan kami untuk datang menenggok embah kakung dan embah putri serta saudara-saudara yang ada di desa kelahiran bapak-ibu.
Saat kami belum memiliki mobil, maka jalan satu-satunya adalah menggunakan bis antar kota. Jadi Terminal Joyoboyo menjadi saksi sejarah perjuangan kami untuk sekedar mudik ke kampung halaman. Pernah suatu saat, karena begitu penuh sesaknya Terminal Joyoboyo, bapak berinisiatif memasukkan sebagian anak-anaknya yang masih kecil saat itu lewat jendela bis. Sedangkan ibu dan anak-anak yang lebih besar yang sudah berhasil masuk duluan menanti di dalam bis. Saat ini aku teringat betapa aku pernah begitu ketakutan salah satu dari kami ketinggalan bis. Karena bis-bis sepertinya tidak ingin menunggu lama untuk segera berangkat. Mungkin karena mereka juga harus mengejar setoran.
Perjuangan belum berakhir, di dalam bis yang berdesak-desakkan-pun belum tentu kami mendapat tempat duduk. Tapi bagi aku yang masih kecil saat itu, sekedar mendapat tempat duduk di samping pak supir [di atas mesin]-pun sudah menimbulkan sensasi rasa senang yang teramat sangat karena aku jadi bisa melihat jalanan dari jendela depan bis yang lebar.....hahaha. Walaupun kondisi tersebut harus dibayar dengan harus seringnya aku mengeser pantatku untu berpindah posisi karena panas mesin bis telah memanggangnya..... hahaha.
Saat kami kecil ada pengalaman-pengalaman di rumah mbah kung yang begitu berbekas. Seperti berenang di Sungai Gandongan [kalau tidak salah nih....aku kok jadi lupa namanya]. Air sungai yang masih bersih mengalir di sela-sela batu besar yang berserakan di sepanjang. Anak-anak lelaki dalam keluarga besar kami biasanya kalau menjelang siang yang terik sembunyi-sembuyi untuk pergi ke sana. Kadang aku sebel karena mereka hanya memperbolehkan anak lelaki saja sedangkan anak perempuan harus cukup puas cangkruk dan ngobrol di rumah mbak kung yang luas.
Tradisi mengirim rantang yang berisi makanan masih terbina subur saat kami masih kecil. Asyiknya kalau aku diajak sepupuku untuk mengirim makanan-makanan itu ke rumah tetangga-tetangga yang cukup dekat dengan bulek-ku. Selesai mereka menerima biasanya kami akan mendapatkan angpo. Duh lumayan bisa dibuat buat andok ketoprak, tepo atau bakso.....:)
Saat aku masih kecil, setiap semalam atau dua malam menjelang idul fitri, bapak dan ibu sudah mempersiapkan kami 7 bersaudara untuk melakukan perjalanan mudik. Tradisi ini menjadi hal yang sangat diwajibkan oleh bapak dan ibu, karena kesibukan dalam satu tahun tidak memungkinkan kami untuk datang menenggok embah kakung dan embah putri serta saudara-saudara yang ada di desa kelahiran bapak-ibu.
Saat kami belum memiliki mobil, maka jalan satu-satunya adalah menggunakan bis antar kota. Jadi Terminal Joyoboyo menjadi saksi sejarah perjuangan kami untuk sekedar mudik ke kampung halaman. Pernah suatu saat, karena begitu penuh sesaknya Terminal Joyoboyo, bapak berinisiatif memasukkan sebagian anak-anaknya yang masih kecil saat itu lewat jendela bis. Sedangkan ibu dan anak-anak yang lebih besar yang sudah berhasil masuk duluan menanti di dalam bis. Saat ini aku teringat betapa aku pernah begitu ketakutan salah satu dari kami ketinggalan bis. Karena bis-bis sepertinya tidak ingin menunggu lama untuk segera berangkat. Mungkin karena mereka juga harus mengejar setoran.
Perjuangan belum berakhir, di dalam bis yang berdesak-desakkan-pun belum tentu kami mendapat tempat duduk. Tapi bagi aku yang masih kecil saat itu, sekedar mendapat tempat duduk di samping pak supir [di atas mesin]-pun sudah menimbulkan sensasi rasa senang yang teramat sangat karena aku jadi bisa melihat jalanan dari jendela depan bis yang lebar.....hahaha. Walaupun kondisi tersebut harus dibayar dengan harus seringnya aku mengeser pantatku untu berpindah posisi karena panas mesin bis telah memanggangnya..... hahaha.
Saat kami kecil ada pengalaman-pengalaman di rumah mbah kung yang begitu berbekas. Seperti berenang di Sungai Gandongan [kalau tidak salah nih....aku kok jadi lupa namanya]. Air sungai yang masih bersih mengalir di sela-sela batu besar yang berserakan di sepanjang. Anak-anak lelaki dalam keluarga besar kami biasanya kalau menjelang siang yang terik sembunyi-sembuyi untuk pergi ke sana. Kadang aku sebel karena mereka hanya memperbolehkan anak lelaki saja sedangkan anak perempuan harus cukup puas cangkruk dan ngobrol di rumah mbak kung yang luas.
Tradisi mengirim rantang yang berisi makanan masih terbina subur saat kami masih kecil. Asyiknya kalau aku diajak sepupuku untuk mengirim makanan-makanan itu ke rumah tetangga-tetangga yang cukup dekat dengan bulek-ku. Selesai mereka menerima biasanya kami akan mendapatkan angpo. Duh lumayan bisa dibuat buat andok ketoprak, tepo atau bakso.....:)